Al-Qur’An Dan Hadis Yakni Anutan Hidupku

Al-Qur’an ialah kalam Allah Swt. (wahyu) yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril dan diajarkan kepada umatnya, dan membacanya merupakan ibadah. Hadis atau sunnah ialah segala ucapan atau perkataan, perbuatan, serta ketetapan (taqrir) Nabi Muhammad saw. yang terlepas dari hawa nafsu dan perkara-perkara tercela.

Al-Qur’an ialah sumber aturan utama selain sebagai kitab suci. Oleh lantaran itu, semua ketentuan aturan yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. Hadis merupakan sumber aturan kedua setelah al-Qur’an. Dengan demikian, hadis mempunyai fungsi yang sangat penting dalam aturan Islam.

A. Memahami Al-Quran sebagai Sumber Hukum Islam
1. Pengertian Al -Qur'an
Sumber aturan Islam merupakan suatu rujukan, landasan, atau dasar yang utama dalam pengambilan aturan Islam. Salah satu sumber aturan Islam ialah Al-Qur'an.

Dari segi bahasa, al-Qur’an berasal dari kata qara’a – yaqra’u – qira’atan– qur’anan, yang berarti sesuatu yang dibaca atau bacaan. Dari segi istilah, al-Qur’an ialah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab, yang hingga kepada kita secara mutawattir, ditulis dalam mushaf, dimulai dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas. Allah Swt. berfirman:

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
(inna haadzaa alqur-aana yahdii lillatii hiya aqwamu wayubasysyiru almu/miniina alladziina ya'maluuna alshshaalihaati anna lahum ajran kabiiraan)

Artinya:
“Sungguh, al-Qur’an ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar bangga kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar.” (Q.S. al-Isra/17:9)

2. Kedudukan al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam
Sebagai sumber aturan Islam, al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama sehingga semua kasus harus merujuk dan berpedoman kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam al-Qur’an

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
(yaa ayyuhaa alladziina aamanuu athii'uu allaaha wa-athii'uu alrrasuula waulii al-amri minkum fa-in tanaaza'tum fii syay-in farudduuhu ilaa allaahi waalrrasuuli in kuntum tu/minuuna biallaahi waalyawmi al-aakhiri dzaalika khayrun wa-ahsanu ta/wiilaan)

Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, kalau kau berbeda pendapat perihal sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah Swt. (al-Qur’an) dan Rasu-Nyal (sunnah), kalau kau beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. an-Nisa’/4:59

Dalam ayat yang lain Allah Swt. menyatakan:

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
(innaa anzalnaa ilayka alkitaaba bialhaqqi litahkuma bayna alnnaasi bimaa araaka allaahu walaa takun lilkhaa-iniina khashiimaan)

Artinya:
“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, semoga engkau mengadili antara insan dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), lantaran (membela) orang yang berkhianat.” (Q.S. an-Nisa’/4:105)

Dalam sebuah hadis yang bersumber dari Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda:
 yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw Al-Qur’an dan Hadis ialah Pedoman Hidupku
Artinya:
“... Amma ba’du wahai sekalian manusia, bukankah saya sebagaimana insan biasa yang diangkat menjadi rasul dan saya tinggalkan bagi kalian semua dua kasus utama/besar, yang pertama ialah kitab Allah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya/penerang, maka ikutilah kitab Allah (al-Qur’an) dan berpegang teguhlah kepadanya ... (H.R. Muslim)

3. Kandungan Hukum dalam al-Qur’an
  • Akidah atau Keimanan. Akidah atau keimanan ialah keyakinan yang tertancap berpengaruh di dalam hati. Akidah terkait dengan keimanan terhadap hal-hal yang mistik yang terangkum dalam rukun keyakinan (arkanu iman), yaitu keyakinan kepada Allah Swt. malaikat, kitab suci, para rasul, hari kiamat, dan qada/qadar Allah Swt.
  • Syari’ah atau Ibadah. Hukum Ibadah mengatur bagaimana seharusnya melaksanakan ibadah yang sesuai dengan pedoman Islam. Hukum Mu’amalah mengatur interaksi antara insan dengan sesamanya.
  • Akhlak atau Budi Pekerti berisi hukum-hukum perihal akhlak. Al-Qur’an menuntun bagaimana seharusnya insan berakhlak atau berperilaku, baik budbahasa kepada Allah Swt., kepada sesama manusia.

B. Memahami Hadis atau Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam
1. Pengertian Hadis atau Sunnah
Secara bahasa hadis berarti perkataan atau ucapan. Menurut istilah, hadis ialah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Hadis ialah ucapan
atau perkataan Rasulullah saw., sedangkan sunnah ialah segala apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menjadi sumber aturan Islam.

Hadis dalam arti perkataan atau ucapan Rasulullah saw. sebagai berikut.
  • Sanad, yaitu sekelompok orang atau seseorang yang memberikan hadis dari Rasulullah saw. hingga kepada kita sekarang.
  • Matan, yaitu isi atau bahan hadis yang disampaikan Rasulullah saw.
  • Rawi, ialah orang yang meriwayatkan hadis.

2. Kedudukan Hadis atau Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam
Hadis berada satu tingkat di bawah al-Qur’an artinya, kalau sebuah kasus hukumnya tidak terdapat di dalam al-Qur’an, yang harus dijadikan sandaran berikutnya ialah hadis tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.....
Artinya :
“... dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah.” (Q.S. al-¦asyr/59:7)

Demikian pula firman Allah Swt. dalam ayat yang lain:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا

Artinya:
“Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka bergotong-royong ia telah menaati Allah Swt. Dan barangsiapa berpaling (darinya), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.” (Q.S. an-Nisa’/4:80)

3. Fungsi Hadis terhadap al-Qur’an
Hadis merupakan sumber aturan kedua setelah al-Qur’an. Dengan demikian, hadis mempunyai fungsi yang sangat penting dalam aturan Islam. Di antara fungsi hadis antara lain :
  • Menegaskan ketentuan yang telah ada dalam al-Qur’an
  • Menerangkan maksud dan tujuan ayat, 
  • Menjelaskan ayat-ayat al-Quran yang bersifat umum (bayan takhsis)
  • Menetapkan aturan gres yang tidak terdapat dalam al-Qur’an

4. Macam-Macam Hadis
Ditinjau dari segi perawinya, hadis terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu ibarat berikut.
  • Hadis Mutawattir ialah hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi, baik dari kalangan para sobat maupun generasi sesudahnya dan dipastikan di antara mereka tidak bersepakat dusta.
  • Hadis Masyhur ialah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sobat atau lebih yang tidak mencapai derajat mutawattir namun setelah itu tersebar dan diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’in sehingga mustahil bersepakat dusta.
  • Hadis Ahad ialah hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi sehingga tidak mencapai derajat mutawattir. Dilihat dari segi kualitas orang yang meriwayatkannya (perawi), hadis dibagi ke dalam tiga belahan yaitu. Hadis Sahih, Hadis Hasan, Hadis Sa'if, dan hadis Maudu'.

C. Ijtihad sebagai upaya memahami al-Qur’an dan Hadis
1. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal bahasa Arab ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti mengerahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga, atau bekerja secara optimal. Secara istilah, ijtihad ialah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara sungguh-sungguh dalam memutuskan suatu hukum. Orang yang melaksanakan ijtihad dinamakan mujtahid.

2. Syarat-Syarat berijtihad
Tidak semua orang sanggup melaksanakan ijtihad dan menghasilkan aturan yang tepat. Berikut beberapa
syarat yang harus dimiliki seseorang untuk melaksanakan ijtihad.
  • Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.
  • Memiliki pemahaman mendalam perihal bahasa Arab, ilmu tafsir, permintaan fikih, dan tarikh (sejarah).
  • Memahami cara merumuskan aturan (istinbat).
  • Memiliki keluhuran budbahasa mulia.

3. Kedudukan Ijtihad
Ijtihad mempunyai kedudukan sebagai sumber aturan Islam setelah al-Qur’an dan hadis. Ijtihad dilakukan kalau suatu kasus tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur’an dan hadis. Namun demikian, aturan yang dihasilkan dari ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an maupun hadis.

4. Bentuk-bentuk Ijtihad
Ijtihad sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah aturan terbagi ke dalam beberapa bagian, ibarat berikut.
  • Ijma’ ialah janji para ulama andal ijtihad dalam memutuskan suatu kasus atau hukum. Contoh ijma’ di masa sobat ialah janji untuk menghimpun wahyu Ilahi yang berbentuk lembaran-lembaran terpisah menjadi sebuah mushaf al-Qur’an.
  • Qiyas ialah mempersamakan/menganalogikan kasus gres yang tidak terdapat dalam al-Qur’an atau hadis dengan yang sudah terdapat hukumnya dalam al-Qur’an dan hadis lantaran kesamaan sifat atau karakternya. Contoh qiyas ialah mengharamkan aturan minuman keras selain khamr ibarat br*ndy, w*sky, t*pi miring, v*dka.
  • Maślahah Mursalah artinya penetapan aturan yang menitikberatkan pada kemanfaatan suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal terhadap syari’at Islam. Misalkan seseorang wajib mengganti atau membayar kerugaian atas kerugian kepada pemilik barang lantaran kerusakan di luar janji yang telah ditetapkan

D. Pembagian Hukum Islam
Hukum taklifi ialah tuntunan Allah Swt. yang berkaitan dengan perintah dan larangan. Hukum wad’i ialah perintah Allah Swt. yang merupakan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu.

1. Hukum Taklifi
Hukum taklifi terbagi ke dalam lima bagian, ibarat berikut.
  • Wajib (fardu), yaitu aturan Allah Swt. kalau dikerjakan akan mendapat pahala, dan kalau ditinggalkan akan berakibat dosa. Misalnya perintah wajib salat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
  • Sunnah (mandub), kalau dikerjakan akan mendapat pahala dan kalau ditinggalkan lantaran berat untuk melakukannya tidaklah berdosa. Misalnya ibadah śalat rawatib, puasa Senin-Kamis, dan sebagainya.
  • Haram (tahrim), yaitu larangan untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau perbuatan. Konsekuesinya ialah kalau larangan tersebut dilakukan akan mendapat pahala, dan kalau tetap dilakukan, akan mendapat dosa dan hukuman.  Misalnya larangan meminum minum*n keras/nark*ba/khamr, larangan berz*na, larangan berj*di dan sebagainya.
  • Makruh (Karahah) artinya sesuatu yang dibenci atau tidak disukai. Konsekuensi aturan ini ialah kalau dikerjakan tidaklah berdosa, akan tetapi kalau ditinggalkan akan mendapat pahala. Misalnya ialah mengonsumsi masakan yang beraroma tidak sedap lantaran zatnya atau sifatnya.
  • Mubah (al-Ibahah), yaitu sesuatu yang boleh untuk dikerjakan dan boleh untuk ditinggalkan. Tidaklah berdosa dan berpahala kalau dikerjakan ataupun ditinggalkan. Misalnya makan roti, minum susu, tidur di kasur, dan sebagainya.

2. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i ialah firman Allah SWT. yang menuntut untuk menimbulkan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. Bila firman Allah memberikan atas kaitan sesuatu dengan aturan taklifi, baik bersifat sebagai sebab, syarat, aau penghalang maka ia disebut aturan wadh’i.

Dari pengertian aturan wadh’i tersebut ditunjukkan bahwa macam-macam aturan wadh’i, yaitu sebab, syarat,mani’ (penghalang).
  • Sebab. Menurut bahasa ialah sesuatu yang sanggup memberikan kepada sesuatu yang lain berarti jalan yang sanggup memberikan kepada suatu tujuan. Menurut istilah ialah suatu sifat yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum.
  • Syarat Yaitu sesuatu yang berada di luar aturan syara’, tetapi keberadaan aturan syara’ bergantung kepadanya. Apabila syara’ tidak ada, aturan pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya aturan syara’. 
  • Mani’ (penghalang) Yaitu sifat yang keberadaannya menimbulkan tidak ada aturan atau tidak ada sebab. Misalnya, hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menimbulkan timbulnya hubungan kewarisan (waris mewarisi). 

E. Menerapkan Perilaku Mulia
Perilaku mulia dari pemahaman terhadap al-Qur’an, hadis, dan ijtihad sebagai sumber aturan Islam tergambar dalam kegiatan sebagai berikut.
  1. Gemar membaca dan mempelajari al-Qur’an dan hadis baik dikala sedang sibuk ataupun santai.
  2. Berusaha sekuat tenaga untuk merealisasikan ajaran-ajaran al-Qur’an dan hadis.
  3. Selalu mengonfirmasi segala kasus yang dihadapi dengan merujuk kepada al-Qur’an dan hadis, baik dengan mempelajari sendiri atau bertanya kepada yang andal di bidangnya.
  4. Mencintai orang-orang yang senantiasa berusaha mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah.
  5. Kritis terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi dengan terus-menerus berupaya semoga tidak keluar dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah.
  6. Membiasakan diri berpikir secara rasional dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an dan hadis.
  7. Aktif bertanya dan berdiskusi dengan orang-orang yang dianggap mempunyai keahlian agama dan berakhlak mulia.
  8. Berhati-hati dalam bertindak dan melaksanakan sesuatu, apakah boleh dikerjakan ataukah ditinggalkan.
  9. Selalu berusaha keras untuk mengerjakan segala kewajiban serta meninggalkan dan menjauhi segala larangan.
  10. Membiasakan diri untuk mengerjakan ibadah-ibadah sunnah sebagai upaya menyempurnakan ibadah wajib lantaran khawatir belum sempurna

Tidak ada komentar untuk "Al-Qur’An Dan Hadis Yakni Anutan Hidupku"